Jumat, 23 Mei 2008
Bandar Lampung, 06022008/21.05
SALAH PAHAM KARENA TAK MAU BICARA
(Anggi Aribowo)
“ Hermannnn…”
“ Awas kau…”
“ Hua ha ha ha … “
Kembali teriakan yang paling sering terdengar di kelas kami, terdengar kembali. Sudah tiga kali, sejak pagi ini, Herman menarik rambut kuncirku. Sebal, kesal, marah, malu, bercampur jadi satu. Kalau saja rasa itu dijadikan satu mangkok, pasti rasanya lebih pedas dari sambal Lampung sekalipun.
Entah mengapa, manusia yang namanya Herman itu selalu saja punya alasan untuk menggangguku. Menarik kuncir rambutku adalah favoritnya, selain itu, mulai dari meletakkan cicak ke tasku, menebarkan lem ke kursi, sampai yang paling parah, pernah ia menyembunyikan tugas kliping biologiku. Sampai-sampai aku dihukum hormat bendera di lapangan upacara sampai tengah hari oleh Bu Wati yang gualaknya minta ampun. Panas sih nggak, tapi luar biasa malunya, dilihat anak kelas satu SD, sampai tiga SMA. Uuuhh, kalau ingat manusia yang namanya Herman, pengen rasanya mencacahnya jadi perkedel.
***
Herman, pertama kali melihatnya, aku seribu persen yakin kalau dia pasti anak baik-baik. Kelas satu SMA, ketika kami sudah jalan satu semester, dia masuk ke sekolah kami. Kepala sekolah menempatkannya di kelas kami, kelas satu lima, kelas yang teladan di antara kelas lainnya, entah apa alasannya kelas kami dikatakan teladan, yang jelas, kami sekelas diisi murid-murid yang baik dan konon kabarnya cerdas.
“Kenalkan, nama saya Herman Suryapraja...”
“Lahir di Jakarta, 16 tahun lalu, saya pindah ke kota ini karena ayah pindah tugas ke sini. Kebetulan ayah saya adalah kontraktor dan di Lampung ini dia mendapatkan proyek perluasan dan perbaikan pelabuhan. Jadi kami sekeluarga diboyong kemari. O ya hampir lupa, saya di keluarga anak tunggal, tanpa kakak, tanpa adik.”
***
Pertemuan pertama yang mengesankan, menurutku setidaknya dia bisa membagikan pengalamannya sekolah dan tinggal di ibukota Jakarta.
Tapi dugaan kami ternyata hampir salah... Hampir ? ...Ya, hampir.
Kalau dia dari Jakarta itu benar, kalau dia pintar itu juga benar, karena sejak dia hadir di kelas kami, minimal peringkat dua di kelas pasti diraihnya, bersaing denganku, tampangnya cukup lumayan indo, itu juga benar. Tapi, yang ternyata melesat dari praduga kami semula adalah ternyata dia itu super duper iseng.
Tapi anehnya isengnya itu hanya padaku seorang. Maya Putri Santika.
Aku mencoba berpikiran positif, mungkin dulu, karena dia diberikan tempat duduk tepat di belakangku, hingga sampai sekarang dia akrab, bahkan berlebihan kalau bisa dibilang.
“ Mungkin dia itu diam-diam suka sama kamu May...?” kata Dian teman sebangkuku yang tahu aku luar dalam.
“ Haa, suka... gak sudi aku, meskipun lelaki di dunia ini tinggal dia satu-satunya, aku tetap gak sudi !” timpalku pada Dian, sahabatku itu. Mendengar jawaban itu Dian membisikku, “ Kamu pasti nggak percaya kan. Kemarin dia nanya... “
“ Eh, Dian, ulang tahun Maya tanggal 12 November ini kan ? “ tanyanya
“ Bener seminggu lagi, kenapa ? “
“ Ah nggak, memastikan aja, trus warna kesukaannya biru kan ? “ katanya lagi
” Tau gak, belum sempat aku jawab setelah itu dia langsung pergi tanpa bilang apa-apa lagi sambil tersenyum, tapi senyumnya itu lho, seperti ada sesuatu yang disembunyikan.” Kata Dian lagi.
“ Nah dari situ, kesimpulannya dia pasti suka kamu, percaya deh?” kata Dian sambil tersenyum kecil.
***
Di rumah, hampir tiga hari ini aku memikirkan ucapan Dian, kebaikan-kebaikan Herman, juga keisengannya. Memang sih, kalau dipikir-pikir, Herman itu juga baik, seringkali dia membelikan aku roti atau coklat dari kantin, kalau dilihatnya aku tidak sempat ke kantin saat jam istirahat. Atau ketika aku masuk rumah sakit karena gejala tifus dua bulan lalu, dari teman sekelas, Hermanlah yang paling sering datang menjenguk, dan juga paling banyak membawakan buah-buahan untukku. Tapi, semua kebaikannya itu, tertutupi dengan keisengannya padaku. Hingga teman-teman sering bilang aku dan Herman itu seperti Tom dan Jerry, kadang-kadang rukun, tapi lebih sering berantemnya.
***
Sekarang tanggal 8 November, berarti 6 hari lagi aku dan teman-teman sekelas, ikut kegiatan rutin sekolah kami, Pesantren kilat. Sebentar sih, cuma sepuluh hari, kami semua di asramakan, laki-laki sendiri, perempuan sendiri, dilatih mandiri, dan diajari tentang agama mulai dari yang dasar, sampai aplikasi kewajiban-kewajiban agama. Pesantren kilat biasanya membosankan, karena diasuh oleh guru-guru kami sendiri.
Tapi kali ini, ketika kubaca pengumuman Pesantren Kilat tahun ini. Ada yang baru, tahun ini, Pesantren Kilat kami akan diampu oleh kakak-kakak mahasiswa, sedangkan guru-guru hanya jadi pemantau saja. Wah aku senang sekali, pasti menarik nih, pikirku.
***
Segalanya kupersiapkan menjelang keberangkatanku ke asrama Sanlat esok hari, mulai dari pakaian sampai makanan. Semua persiapan mental dan spiritualku untuk sanlat ternyata melalaikan aku pada sesuatu, ya aku ulang tahun hari ini. Dan ternyata sudah tujuh belas tahun usiaku sekarang, usia yang bisa dikatakan dewasa, namun masih perlu pendampingan.
Tapi kenapa harus musuh besarku yang mengingatkan aku pada hari istimewaku itu.
Siang itu, selepas sekolah,” May sorry ganggu aku mau ngasih ini sama kamu...” kata Herman, sembari mengeluarkan tangannya dari tas. Sebuah kotak berukuran sedang yang dibungkus kertas kado warna biru, warna kesukaanku, segera disodorkan kepadaku. Dengan perasaan kaget,” Dalam rangka apa kamu baik seperti ini ? “ kataku sinis. Aku yakin di dalamnya pasti ada sesuatu yang membuat aku berteriak histeris, entah hewan kecil atau gangguan lainnya.
Sambil tersenyum dia berkata,” Aku tahu prasangka kamu, tapi kan gak selamanya aku ini iseng sama kamu, apalagi di hari ulang tahunmu. Selamat ulang tahun ke tujuh belas ya...”
Masyaallah... kenapa aku bisa begitu lupa dengan hari lahirku ini.
Dan Herman sempat melihat kebingunganku itu.
Daripada maluku semakin bertambah, kuterima saja kotak berbungkus kertas kado itu sambil berlalu tanpa sempat kuucapkan terima kasih.
***
“ Benar kan kataku...”
“ Apanya yang benar ? ”
“ Dia pasti suka kamu. Coba jawab kenapa dia ngasih jilbab itu untuk kamu. Satu hari menjelang Pesantren Kilat kita, warnanya biru lagi, warna kesukaanmu...” jelas Dian.
Pikiran itu datang lagi, kali ini lebih membuncah, kenapa, kenapa, kenapa, apakah, apakah, apakah... makin kupikirkan yang Herman selama ini lakukan, makin bingung saja aku ini.
***
Pagi ini hari ketigaku di sanlat ini. Dimulai dengan sebuah materi, Problematika Kehidupan Remaja Putri. Materinya sih biasa saja, sepertinya gak ada yang istimewa, tapi yang bikin istimewa mentornya itu, wah orangnya asyik. Walaupun jilbabnya lebar sepinggang, penyampaiannya komunikatif, kadang-kadang diselipi humor, sehingga kami-kami dibuat betah duduk berjam-jam. Mbak Henni namanya, lengkapnya aku gak hapal, ia menjelaskan tentang masalah-masalah remaja masa kini, mulai dari persoalan keluarga, sekolah, pertemanan, penampilan Islami, sampai hubungan dengan makhluk Allah yang namanya laki-laki yang bukan muhrim. Nah, poin terakhir ini yang membuat aku betah diam mematung selama kurang lebih duapuluh menit saat Mbak Henni menjelaskannya. Poin ini mengena sekali pada diriku. Kenapa kita harus bisa menjaga status kita, terutama dengan makhluk Allah yang bernama laki-laki yang bukan muhrim, bagaimana etika dan tata cara pergaulan yang benar menurut Islam, dan lainnya.
Tiga jam sudah usai, materinya pun dirasa cukup. Tapi aku masih penasaran, terutama tentang poin terakhir tadi. Selesai sholat Dhuhur berjamaah, kami berdua, aku dan Dian menemui Mbak Henni di sudut musholla.
“ Mbak aku mau cerita nih...” kataku membuka percakapan.
“ Oh ya cerita apa ? “ Mbak Henni antusias diiringi senyumnya yang manis.
Mulai deh aku keluarkan cerita gaya mendongengku, mulai dari awal pertemuan, hingga kado gate sehari sebelum Sanlat ini.
Sambil tersenyum Mbak Henni memberikan kami pencerahan. Kenapa disebut pencerahan ? Karena aku tahu apa yang akan aku lakukan kalau bertemu musuh besarku yang membuat penasaran itu.
***
Sepuluh hari sudah usai, saatnya kami semua kembali ke rutinitas sekolah dan belajar. Tapi satu hal yang kudapat. Aku ingin berubah. Sepuluh hari menjalani Pesantren Kilat, membuatku mengerti banyak hal tentang apa yang terbaik bagiku.
Dan yang penting dari itu, aku tahu bagaimana menghadapi manusia bernama Herman Suryapraja.
***
Senin ini, sengaja aku datang lebih pagi dari biasanya. Aku ingin memperkenalkan diriku yang baru, Maya Putri Santika, yang kini mulai memakai jilbab, walaupun belum jilbab yang lebar seperti Mbak Henni atau Mbak-Mbak mentor Sanlat kemarin. Tapi aku yakin aku pasti bisa berubah lebih baik. Sanlat kemarin benar-benar memberi arti baru dalam hidupku.
Selain itu, aku ingin langsung mengajak Herman berbicara tentang beberapa hari yang lalu.
Saat jam istirahat aku langsung mengajak Herman ke kantin, ditemani oleh Dian aku mengambil tempat yang cukup strategis, strategis karena di sana ramai sehingga aku merasa banyak yang mendukung.
“ May kenapa kamu berjilbab ? “ tanya Herman membuka obrolan.
“ Yah... aku coba untuk menghargai diriku sendiri dan bersyukur sudah diberikan nikmat oleh Allah.” timpalku.
“ Oke Man, langsung aja, kita berdua mengajak kamu ke sini bukan menjelaskan soal aku pake jilbab, tapi aku mau penjelasan dari kamu. Kenapa kamu kemarin ngasih kado jilbab biru itu, trus kenapa kamu sering bikin kesal, iseng, tapi kadang-kadang ngasih perhatian yang berlebih untukku... ? ” Semua jurus yang diajarkan Mbak Henni aku keluarkan.
“ Trus apa maksud kamu, kamu suka denganku ? ” tanyaku menembak langsung ke sasaran.
“ Apa kamu diam-diam suka padaku ? kalau iya, maaf Man, tapi lebih baik kita jadi teman yang baik saja, tidak perlu lebih dari itu.” Akhirnya kata-kata pamungkas yang diajarkan Mbak Henni aku keluarkan.
Dian tersenyum puas di sampingku, dia adalah pendukung dan cheerleader ku.
Sementara Herman, mendengar ucapanku yang menggebu-gebu itu diam seribu bahasa. Heran, bingung, aneh, bercampur jadi satu.
“ Haa haha ha... “ tawanya
Keheranan aku dan Dian dibuatnya, kenapa juga Herman mesti tertawa.
“ Ooo, jadi maksud kalian mengajak aku ke sini untuk itu... Haa haha haa ... kukira kalian mau traktir aku... Haa haha haa ... “ dia tertawa lagi, kali ini lebih keras.
“ Oke, oke, aku jelaskan yaa. Pertama aku minta maaf soal isengku pada kalian, bukan bermaksud apa-apa, tapi aku senang aja lihat kalian kadang-kadang marah padaku. Maaf sekali lagi. “ katanya
Diam sebentar ia, lantas melanjutkan, kali ini lebih serius,” Kedua, soal aku memberi perhatian pada kamu khususnya May...” Herman kembali diam sejenak.
“ Aku mau cerita sedikit, ingat dulu ketika perkenalan di awal aku masuk sekolah ini, aku bilang kalau aku anak tunggal kan ? “ kata Herman.
Kami berdua mengangguk.
“ Aku berbohong waktu itu. Aku ini sebenarnya punya saudara kembar, adik perempuan, namun karena sakit, umurnya hanya mencapai tiga tahun. Aku tahu dari ibuku yang sering cerita. Kamu tahu aku dan adikku lahir tanggal berapa ? “ tanyanya kepada kami.
Kami berdua menggeleng.
“ Aku lahir tanggal 12 November, sama seperti hari lahirmu May...” terang Herman.
Sampai sini aku makin penasaran. Bukan karena tanggal lahirnya sama denganku tapi Herman masih menggantungkan kata-katanya, masih ada kejutan lain.
“ Dan ... “ Herman membuat kami penasaran.
“ Dan kamu mau tahu lagi, nama adikku adalah Maya Pertiwi Suryapraja, dia dipanggil Maya, namanya pun sama dengan namamu May...” Herman mengakhiri ceritanya.
Kami dibuat terdiam seribu bahasa. Terlebih lagi aku yang menjadi objek pembicaraan ini.
Melihat kami berdua terdiam, Herman melanjutkan,” Kamu tahu May kenapa aku sering iseng, kadang baik, gak lebih dari aku menganggap kamu itu saudara kembarku, tidak seperti apa yang kamu bayangkan, suka, apalagi mau macam-macam dengan kamu May. Maaf kalau selama ini membuat kamu berprasangka buruk padaku. Sungguh aku gak bermaksud seperti itu, maaf juga baru sekarang aku cerita yang sebenarnya.” Herman memohon maaf kepada kami, aku khususnya.
Ufhh... aku membuang nafas selepas-lepasnya, entah karena lega, puas, atau percaya dengan cerita dan ungkapan Herman. Tapi yang penting sekarang semua sudah jelas. Tidak ada lagi prasangka buruk, Aku, Dian, dan Herman berteman lebih akrab sekarang.
***
“ Hermannnn…”
“ Awas kau…”
“ Hua ha ha ha … “
Kembali teriakan yang paling sering terdengar di kelas kami, terdengar kembali. Kali ini buku catatan Fisikaku yang dicoret-coretnya...
Herman... Herman...
Sekarang kamu kena batunya, dihukum lari keliling lapangan basket siang-siang, ditonton plus ditertawakan anak-anak SD yang sedang istirahat.
Herman... Herman... balas dendam itu kadang-kadang memang indah.
***
0 komentar:
Posting Komentar